SAMARINDANEWS.COM-Apakah menurut Anda terlalu berlebihan ketika saya mengatakan ekonomi rakyat ada di telapak kaki ibu? Menurut saya tidak. Gagasan ini datang dari pembacaan atas berbagai pengalaman yang saya lalui beberapa tahun terakhir. Yakinlah bahwa mengatakan ekonomi rakyat ada di telapak kaki ibu itu bukan sesuatu yang berlebihan. Seperti ketika Nabi Muhammad tak pernah merasa berlebihan mengajarkan bahwa surga ada di telapak kaki ibu.
Sudah hampir lima tahun saya menjalankan bisnis online shop di bidang makanan yang berbasis hasil laut. Ternyata di sepanjang perjalanan itu, rasanya saya lebih banyak berinteraksi dan bekerja sama dengan para perempuan dibanding laki-laki. Pada berbagai simpul ekonomi yang saya datangi (pasar induk, pasar ikan, pasar desa, toko grosir, dll), lebih banyak saya berinteraksi dengan pelaku usaha perempuan daripada laki-laki.
Hampir seluruh supplier saya adalah perempuan. Supplier ikan asin semua perempuan. Pengasapan ikan langganan saya juga dibangun oleh seorang perempuan, yang kini diwariskan pada anak-anaknya yang juga para perempuan. Supplier cabai dan tomat juga perempuan. Di tangannya ia mengelola berton-ton cabai dan tomat setiap harinya. Orderan dari dapur-dapur kapal yang hendak berangkat melaut yang paling dinantinya.
Supplier lele asap, supplier rengginang singkong maupun rengginang ketan, semua usaha itu dilakukan oleh para perempuan. Supplier salmon beku juga seorang ibu yang seringkali harus membawa serta anaknya yang masih kecil dengan motornya, ketika mengirim barang-barang pesanan.
Karena rumah saya di pinggir jalan dan dekat pasar, semua rumah tangga di sekitar pasar itu adalah pelaku usaha. Dan setelah saya amat satu per satu hampir semua pelaku usaha itu adalah perempuan. Para pemilik toko grosir, pemilik toko buah, bakul bumbon, toko pakan ternak, toko kelontong, warung makan…wah, ternyata semua perempuan yang menjalankannya. Hampir semua pedagang di pasar juga perempuan. Sebagian dari mereka adalah para single mom yang berjuang sendiri menafkahi keluarganya. Sebagiannya lagi, justru para suami yang jadi asisten dalam usaha itu. Pengambil kebijakannya tetap istri-istri mereka.
Asisten saya yang tiga orang itu, semuanya juga perempuan. Juru dapur saya ibu tiga anak. Setiap pagi ia bangun jam 4 pagi untuk memasak, menyiapkan bekal untuk anaknya pergi bekerja, mengerjakan aneka pekerjaan rumah, kemudian jam 8 pagi mulai bekerja di dapur kami sampai jam 4 sore. Pulang kadang masih harus mencuci baju dengan tangan. Di sela-sela liburnya ia membuat kerajinan tangan aneka bunga dari benang untuk dijual lagi. Uang yang diperolehnya digunakan untuk membantu menutupi kebutuhan rumah tangga.
Juru packing saya adalah seorang single mom dengan dua anak. Selama bekerja, anak keduanya yang masih kecil ia titipkan ke ibunya, yang juga seorang pelaku usaha. Pedagang lontong di pasar desa. Ibunya berjualan lontong mulai jam 2 dini hari hingga jam 8 pagi, setelahnya masih lanjut momong cucu sebelum kemudian turun ke dapurnya sendiri untuk mempersiapkan dagangannya.
Asisten juru dapur juga perempuan dengan pekerjaan ganda malah. Pekerjaan utamanya adalah menjadi asisten rumah tangga suami istri lansia (belakangan ini tinggal satu karena salah satu meninggal beberapa waktu yang lalu). Tak hanya mengurus rumah, ia juga harus mengurus seluruh kebutuhan mereka, termasuk memandikan dan tak jarang harus membersihkan kotoran mereka. Setelah pekerjaannya usai, ia loncat ke dapur kami untuk mencuci segala macam perabot kotor bekas memasak dapur yang jumlahnya tentu tidak pernah sedikit. Selama bekerja itu ia membawa serta anaknya yang masih kelas 2 SD.
Kehebatan para perempuan pekerja seperti mereka, di samping bekerja mengurus usahanya, mereka tetap mengurus segala macam urusan domestik di rumahnya. Andai diadakan survei, amat yakin saya, bukan suami-suami mereka yang mengurus cucian, memasak, bebersih rumah apalagi mengurus anak-anak yang masih bayi. Jarang, bukan, kita melihat para bapak membawa anak sambil bekerja? Tapi para ibu dengan segala kekuatannya, jamak kita melihatnya.
Dengan melihat peta seperti itu, rasanya tak terlalu berlebihan apabila saya mengatakan, ekonomi rakyat ini ada di bawah telapak kaki ibu. Apalagi di tengah pandemi dan pelambatan ekonomi seperti sekarang ini, ketika perekonomian nasional sangat bergantung pada transaksi domestik. Sepanjang 2019 hingga 2020 konsumsi rumah tangga masih menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Data statistik BPS menyebutkan lebih dari 50% PDB disumbangkan oleh konsumsi rumah tangga.
Padahal siapa yang ada di balik konsumsi rumah tangga? Dengan sekali tebak saya yakin betul bahwa perempuan khususnya ibu rumah tanggalah yang memegang porsi lebih besar. Semata karena semua urusan rumah, anak, suami, orangtua, hingga cicilan dan mulut tetangga. Semua perempuan yang dominan melakukannya. Para perempuan memproduksi dan mendistribusikan barang-barang kebutuhan rumah tangga. Para perempuan juga yang membelinya.
Siapa yang mengatur belanja dapur harian? Siapa yang mengatur alokasi belanja bulanan? Siapa yang tiap kali dipanggil anak-anak, “Iboook jajaaan!” tiap ada kang cilok atau es puter lewat? Siapa yang mengurus jamuan arisan RT? Siapa yang memutuskan kapan beli celana dalam anak, seragam anak hingga printilan paling remeh sebangsa tusuk gigi dan mata nenek? Sebagian besar semua urusan itu diputuskan oleh perempuan.
Jadi jelas pengaruh besar itu bukan hanya karena mereka bisa berperan sebagai produsen dan distributor yang tangguh, tapi juga karena konsumsi nasional itu sungguh dipengaruhi oleh keputusan-keputusan perempuan. Itulah sebab menyebut ekonomi rakyat di telapak kaki ibu sama sekali tak berlebihan.
Bagaimana kemudian ekonomi tersebut agar bisa menjadi surganya rakyat, tentu saja para ibu ini membutuhkan dukungan yang besar. Negara harus memastikan para ibu dan calon ibu memperoleh pendidikan dan akses pengetahuan yang baik agar kompetensinya meningkat. Memastikan mereka terlindungi haknya dengan undang-undang. Menjamin tak ada anak perempuan yang dipaksa menikah dini sebelum fisik dan mentalnya siap. Dan banyak pekerjaan rumah lainnya masih menanti. Karena memastikan perempuan memperoleh iklim dan dukungan maksimal untuk dapat mengembangkan diri, pada hakikatnya adalah menciptakan surga bagi seluruh rakyat di negeri ini.
Nia Perdhani pelaku usaha daring di bidang hasil laut dari Pati, Jawa Tengah. (detik.com)